PERKEMBANGAN KOGNITIF SISWA SEKOLAH DASAR DI JEMBER KOTA BERDASARKAN TEORI VAN HIELE

PERKEMBANGAN KOGNITIF SISWA SEKOLAH DASAR DI JEMBER KOTA
BERDASARKAN TEORI VAN HIELE

ABSTRAK

           Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya hasil belajar geometri hampir siswa, hal tersebut disebabkan masih banyak siswa yang belum memahami konsep dasar geometri. Ketimpangan ini terjadi mulai Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai perkembangan kognitif siswa mulai dari tingkat yang paling dasar. Tujuan penelitian untuk mengkaji tingkat perkembangan kognitif siswa Sekolah Dasar berdasarkan teori van Hiele; untuk mengetahui penyebab kesalahan siswa dalam menentukan pilihan jawaban dan untuk mengantisipasi agar kesalahan yang sama tidak terulang lagi. Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan oleh guru dalam proses belajar mengajar, sehingga guru mengetahui karakteristik siswa sebelum proses belajar mengajar dimulai.
Penelitian dilakukan menggunakan metode tes dan wawancara. Tes terdiri dari 25 soal pilihan ganda dengan 5 foil setiap butir dan 5 butir setiap tingkat diujikan kepada 458 siswa sekolah dasar di Jember kota yang terdiri dari 3 kecamatan dan setiap kecamatan terdiri dari 4 sekolah, sehingga penelitian ini dilakukan terhadap 12 sekolah dasar di Jember kota. Wawancara dilakukan kepada 10 siswa SD disetiap sekolah. Hasil penelitian menunjukkan berturut-turut responden pada tingkat pravisualisasi, visualisasi, analisis, deduksi informal, deduksi, dan  rigor adalah 70,09%; 28,38%; 1,75%; 0%; 0% dan 0%, sedangkan 8,73% siswa diklasifikasikan pada tingkat transisi dan 16,16% siswa sulit diklasifikasikan ke dalam suatu tingkat perkembangan.
Kata kunci: Perkembangan kognitif, van Hiele

PENDAHULUAN

KBK dan KTSP menuntut guru lebih kreatif dalam pembelajaran di kelas. Menurut Sunardi (2006: 3) menyatakan bahwa Guru diberi kesempatan untuk mengembangkan pola pembelajaran sesuai dengan tuntutan kehidupan, keadaan sekolah atau lingkungan, dan kebutuhan serta kemampuan siswa. Namun di masyarakat, sering didengar bahwa bidang studi matematika adalah bidang studi yang sulit karena berhubungan dengan rumus dan angka, sedangkan jika ternyata nilai siswa rendah dalam bidang studi matematika, maka rasa benci terhadap matematika akan bertambah dan memungkinkan semakin jelek prestasi belajar siswa khususnya dalam bidang matematika.

Menurut Clements dan Battista (dalam Putra, dkk.2005: 1) beberapa peneliti melaporkan bahwa pembelajaran geometri masih jauh dari harapan yang ditandai oleh rendahnya pemahaman siswa. Bukti-bukti empiris di lapangan menunjukkan masih banyak siswa yang belum memahami konsep-konsep geometri. Penelitian yang dilakukan Sunardi, dkk (1998: 23) pada siswa kelas 2b SLTPN 4 Jember menyatakan bahwa 83,3% siswa melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal tentang sudut luar berseberangan, 52,37% tentang sudut berpelurus, 40,5% tentang sudut luar sepihak, 36,95% tentang sudut dalam sepihak, dan 33,62% tentang sudut dalam berseberangan. Herawati (dalam Sugiarti dan Sunardi, 1999:2) melaporkan hasil penelitiannya bahwa masih banyak murid SD yang belum memahami konsep-konsep dasar geometri. Senk (1989) menyatakan bahwa banyak siswa sekolah menengah mengalami kesulitan ketika menyelesaikan tugas menulis bukti geometri, menyelesaikan tes pengetahuan isi geometri standart, dan menyelesaikan tes geometri akhir program; menurut Swafford, Jones, dan Thornton, (1997); Fuys, Geddes, dan Tischler, (1998); Mayberry, (1983) (dalam Sunardi, 2000: 636) lemahnya penguasaan geometri tidak hanya terjadi pada siswa-siswa saja, tetapi hal itu juga terjadi pada guru-guru sekolah menengah di Illionis Amerika. Ruseffendi (1990: 85) menyatakan kesukaran lain yang dihadapi siswa adalah pembelajaran geometri yang diberikan guru langsung secara deduktif, padahal sebelum materi geometri diberikan, siswa belajar aljabar dan berhitung secara induktif. Karena itu pendekatan deduktif dari geometri merupakan hal baru bagi siswa dan perkembangan siswa pada saat permulaan mendapatkan pelajaran geometri besar kemungkinan masih ada pada tahap pengurutan (van Hiele). Kenyataan lain menunjukkan diantara semua cabang matematika, geometri menempati posisi yang memprihatinkan. Bukan hanya prestasi siswa di sekolah sangat jauh dari harapan, namun juga para pakar yang menaruh perhatian terhadap pengajaran geometri di Sekolah menengarai adanya ketimpangan yang cukup serius. Ketimpangan itu antara lain dalam sub unit geometri di Sekolah menengah atas, materi geometri ruang tidak diajarkan serempak dengan materi geometri bidang.

Pelajaran geometri banyak  materi yang dirasa sulit oleh siswa dan tidak ada materi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari,padahal penerapan dari materi geometri seharusnya lebih banyak daripada materi pelajaran yang lain. Materi yang diberikan secara keseluruhan relatif tertinggal antara lain gaya bahasa, notasi, dan simbol yang dipergunakan kurang mengena. Usiskin (1987: 17) mencatat data dari National Assesment tahun (1982) dan melaporkan bahwa kurang dari 10% siswa berumur 13 tahun tidak dapat menentukan sebuah sudut segitiga bila sudut yang lainnya diketahui. Hanya 20% siswa yang dapat menentukan panjang hipotenusa segitiga siku-siku yang diketahui kaki-kakinya. Senk (dalam Usiskin, 1987: 19) melaporkan bahwa dari 99 kelas ternyata 28% siswa tidak dapat membuktikan kekongruenan sebuah persegi dan hanya 31% saja siswa yang dapat membuktikannya. Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran geometri yang ada sekarang masih belum menerapkan teori belajar van Hiele.

Tingkatan Teori van Hiele

(1)  tingkat 0 (pengenalan atau visualisasi); (2) tingkat 1 (analisis); (3) tingkat 2 (pengurutan atau deduksi informal); (3) tingkat 3 (deduksi); dan (4) tingkat 4 (rigor atau akurasi).

Penelitian Relevan

  1. Sunardi (2000: 635) penelitian kepada 576 siswa dari 13 kelas pada 13 SLTPN di Jember menunjukkan berturut-turut 44,62%, 34,55%, 6,77%, 0,17%, dan 0% responden pada tingkat visualisasi, analisis, deduksi informal, deduksi, dan akurasi. Responden yang tidak dapat diklasifikasikan pada suatu tingkat adalah 14,40%.
  2. Sunardi (2002: 47), penelitian kepada 387 siswa kelas XII jurusan IPA dari 10 kelas pada 10 SMUN di Jember yang ditetapkan sebagai responden dipilih dari 15 SMUN (tidak termasuk MAN) pada tahun pelajaran 2000/2001 memperoleh 14,47%, 31,52%, 40,05%, 13,44%, 0,52%, dan 0% berturut-turut pada tingkat perkembangan previsualisasi, visualisasi, analisis, deduksi informal, deduksi, dan rigor.

Menurut Sunardi (2000: 638), dalam pembelajaran geometri masih banyak siswa yang merespon salah pada tes. Hal tersebut dikarenakan bahasa dan penalaran logika yang digunakan pada tes tidak familiar bagi siswa, misalnya kata-kata semua, setiap, tidak satupun dan hanya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat berpikir siswa dalam geometri yang dikemukakan van Hiele juga mempengaruhi proses dan hasil belajar geometri siswa. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang perkembangan kogitif siswa dalam geometri.

METODE PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian kuantitatif. Dengan subjek penelitian sebagai berikut:

Kriteria penentuan tingkat berpikir geometri siswa ditetapkan dengan aturan sebagai berikut.

Siswa diklasifikasikan tingkat ke n apabila: minimal 3 dari 5 butir soal dijawab benar pada tingkat ke n dan setiap tingkat sebelumnya. Apabila siswa tidak memenuhi kriteria tersebut, maka siswa diklasifikasikan kedalam tingkat pravisualisasi.

Siswa diklasifikasikan tingkat transisi diantara tingkat ke n dan ke n + 1 apabila: (a) minimal 3 dari 5 butir soal dijawab benar pada tingkat ke n dan setiap tingkat sebelumnya, dan (2) dua dari 5 butir soal dijawab benar pada tingkat ke n + 1, (3) Siswa sulit diklasifikasikan apabila: (a) minimal 3 dari 5 butir soal dijawab benar pada tingkat ke n dan setiap tingkat sebelumnya, (b) maksimal 2 dari 5 butir soal dijawab benar pada tingkat ke n + 1, dan (c) minimal 3 dari 5 butir soal dijawab benar pada tingkat ke n + 2 atau setiap tingkat selanjutnya.

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan kriteria penentuan tingkat berpikir geometri siswa yaitu siswa diklasifikasikan tingkat ke-n apabila minimal 3 dari 5 butir soal dijawab benar pada tingkat ke-n dan setiap tingkat sebelumnya. Apabila siswa tidak memenuhi kriteria tersebut, maka siswa diklasifikasikan ke dalam tingkat pravisualisasi. Hasil analisis data tingkat perkembangan berpikir geometri siswa disajikan pada Tabel 3.1

Berdasarkan Tabel 3.1, persentase tingkat berpikir geometri siswa dari 12 Sekolah Dasar Negeri di Jember Kota berturut-turut adalah 70,09%; 28,38%; 1,75%; 0%; 0%; dan 0% responden pada tingkat pravisualisasi, visualisasi, analisis, deduksi informal, deduksi, dan  rigor. Hal tersebut juga dapat dilihat pada Gambar 3.1. Dari 130 siswa (28,38%) yang sampai pada tingkat visualisasi, terdapat 35 siswa (7,64%) masuk pada tingkat transisi diantara tingkat visualisasi-analisis, dan dari 8 siswa (1,75%) yang sampai pada tingkat analisis, terdapat 5 siswa (1,09%) masuk pada tingkat transisi diantara tingkat analisis-deduksi informal.

Dari 458 siswa terdiri dari 119 siswa dari kecamatan Sumbersari, 167 siswa dari kecamatan Patrang, dan 172 siswa dari kecamatan Kaliwates. Tingkat berpikir tertinggi hanya dicapai oleh 8 siswa dari SDN Patrang 1 (1 siswa), SDN Kebon Agung 1 (2 siswa), SDN Kepatihan 4 (1 siswa) dan SDN Kepatihan 12 (4 siswa).

Siswa diklasifikasikan tingkat transisi diantara tingkat ke n dan ke n + 1 apabila: minimal 3 dari 5 butir soal dijawab benar pada tingkat ke n dan setiap tingkat sebelumnya dan 2 dari 5 butir soal dijawab benar pada tingkat ke n + 1. Hasil analisis data tingkat transisi diantara tingkat perkembangan berpikir geometri siswa disajikan pada Tabel 3.2

Berdasarkan tabel di atas diperoleh, persentase transisi diantara tingkat perkembangan berpikir geometri siswa dari 12 Sekolah Dasar Negeri di Jember Kota adalah 35 siswa (7,64%) pada tingkat visualisasi-analisis, 5 siswa (1,09%) pada tingkat analisis-deduksi informal sedangkan tidak ada siswa yang sampai pada tingkat deduksi informal-deduksi dan deduksi-rigor. Tingkat transisi tertinggi dicapai oleh siswa adalah pada tingkat transisi analisis-deduksi informal yang dicapai oleh 5 orang siswa (1,09%) dari 458 siswa. Lima siswa tersebut berasal dari 3 sekolah yang berbeda antara lain 3 siswa dari Kepatihan SDN 12, 1 siswa dari SDN Patrang 1, dan 1 siswa dari SDN Kepatihan 4.

Siswa sulit diklasifikasikan apabila: minimal 3 dari 5 butir soal dijawab benar pada tingkat ke n dan setiap tingkat sebelumnya, maksimal 2 dari 5 butir soal dijawab benar pada tingkat ke n + 1, dan minimal 3 dari 5 butir soal dijawab benar pada tingkat ke n + 2 atau setiap tingkat selanjutnya. Hasil analisis data yang sulit diklasifikasikan pada tingkat perkembangan berpikir geometri siswa disajikan pada Tabel 3.3.

Berdasarkan tabel di atas diperoleh, sebanyak 74 siswa (16,16%) sulit untuk diklasifikasikan  pada tingkat perkembangan berpikir geometri. Beberapa siswa ada yang masuk pada tingkat van Hiele sekaligus masuk pada tingkat transisi. Hal ini dikarenakan siswa tersebut dapat menjawab minimal 3 pada tingkat ke-n dan menjawab 2 pada tingkat ke-n+1. Ada juga siswa yang masuk pada tingkat perkembangan menurut van Hiele dan transisi sekaligus sulit diklasifikasikan, hal ini dikarenakan siswa dapat menjawab minimal 3 pada tingkat ke-n dan menjawab 2 pada tingkat ke n+1 tetapi pada tingkat n+2 siswa dapat menjawab soal kurang dari 2, sedangkan pada tingkat n+3 siswa dapat menjawab soal dengan benar minimal 3.

Berdasarkan uraian di atas, maka hasil yang diperoleh dari penelitian perkembangan kognitif siswa Sekolah Dasar di Jember kota adalah 138 siswa (30,13%) dapat diklasifikasikan pada tingkat perkembangan, 321 siswa (70,09%) pada tingkat pravisualisasi.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut.

(1)   Tingkat perkembangan berpikir geometri siswa Sekolah Dasar di Jember kota berturut-turut adalah 70,09%; 28,38%; 1,75%; 0%; 0% dan 0% responden pada tingkat pravisualisasi, visualisasi, analisis, deduksi informal, deduksi, dan  rigor. Dari 458 siswa terdapat 8 siswa mencapai tingkat tertinggi pada penelitian ini yaitu tingkat 1 (analisis). Persentase siswa yang masuk pada tingkat transisi berturut-turut adalah 7,64%; 1,09%; 0%; dan 0% responden pada tingkat visualisasi-analisis, analisis-deduksi informal, deduksi informal-deduksi, dan deduksi-rigor. Siswa yang sulit diklasifikasikan ke dalam suatu tingkat sebanyak 74 siswa (16,16%). Hasil dari penelitian ini secara umum berturut-turut 138 siswa (30,13%), 40 siswa (8,73%), 321 siswa (70,09%) dan 74 siswa (16,16%) dapat diklasifikasikan pada tingkat perkembangan, tingkat transisi, pravisualisasi, dan sulit diklasifikasikan ke dalam suatu tingkat perkembangan.

(2)   Penyebab kesalahan siswa dalam menentukan pilihan jawaban adalah siswa beranggapan bahwa tes yang diberikan bukan merupakan tes matematika karena berupa tulisan-tulisan bukan hitung-hitungan, sedangkan untuk menjawab soal-soal yang berupa gambar bangun, siswa membutuhkan benda-benda konkrit untuk membantu menjawab soal. Siswa belum mengetahui sifat-sifat yang dimiliki geometri dan penggunaan bahasa pada soal tes yang kurang familiar bagi siswa.

 

Bagi pengunjung yang ingin artikel lengkap silahkan klik di sini atau repository

Cara Sitasi
(IEEE Style)
E. Yudianto, “Perkembangan kognitif siswa sekolah dasar di Jember kota berdasarkan teori van hiele,” Pros. Semin. Nas. Mat. dan Pendidik. Mat. Progr. Stud. Pendidik. Mat. FKIP Univ. Jember, pp. 191–200, 2011.

(APA Style)
Yudianto, E. (2011). Perkembangan kognitif siswa sekolah dasar di Jember kota berdasarkan teori van hiele.
Prosiding Seminar Nasional Matematika Dan Pendidikan Matematika Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Jember, 191–200.

(UNEJ & Havard Style)
Yudianto, E., 2011. Perkembangan kognitif siswa sekolah dasar di Jember kota berdasarkan teori van hiele. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Jember, pp.191–200.